Apa yang Disuarakan Dalam Demo Besar-besaran di Prancis. Asap gas air mata mengepul di Place de la République, Paris, sementara ribuan suara bergema menuntut keadilan—ini gambaran demo besar-besaran di Prancis pada 18 September 2025, di mana ratusan ribu hingga jutaan orang turun ke jalan. Dipimpin delapan serikat buruh utama seperti CGT dan CFDT, aksi ini melumpuhkan transportasi, sekolah, dan layanan kesehatan, menandai protes terbesar sejak gerakan pensiun 2023. Di tengah krisis politik yang memuncak, dengan Perdana Menteri Sébastien Lecornu baru menjabat seminggu setelah dua pendahulunya digulingkan, demonstran menyoroti kemarahan atas pemotongan anggaran 44 miliar euro. Apa yang sebenarnya disuarakan mereka? Bukan sekadar keluhan, tapi seruan mendesak untuk reformasi sosial dan ekonomi. Artikel ini mengupas dinamika di balik hiruk-pikuk itu, dari kondisi Prancis saat ini hingga potensi kekacauan yang lebih dalam. BERITA VOLI
Ada Apa Dengan Prancis Saat Ini: Apa yang Disuarakan Dalam Demo Besar-besaran di Prancis
Prancis kini seperti kapal yang oleng di badai politik dan ekonomi, dengan gelombang protes yang mengguncang fondasinya. Krisis memuncak setelah pemilu legislatif Juni 2025 yang memecah parlemen menjadi tiga blok tanpa mayoritas, memaksa Presiden Emmanuel Macron mengganti perdana menteri ketiga kalinya dalam setahun: dari Michel Barnier ke François Bayrou, lalu ke Lecornu pada 10 September. Bayrou jatuh karena rencana austerity 44 miliar euro untuk 2026, yang bertujuan tekan defisit negara mendekati dua kali batas UE 3%. Hasilnya? Kekacauan nasional: kereta api terhenti, bus dan tram mogok, sembilan dari sepuluh apotek tutup, dan satu dari enam guru di sekolah dasar serta menengah ikut mogok.
Pada 18 September, Kementerian Dalam Negeri catat 600.000 hingga 900.000 peserta di 596 lokasi, sementara CGT klaim lebih dari satu juta—dua kali lipat dari “Bloquons Tout” pada 10 September. Di Paris, 50.000 hingga 100.000 orang berbaris, dengan siswa memblokir ratusan sekolah. Bentrokan sporadis terjadi: polisi antihuru-hara gunakan gas air mata di Nantes dan Lyon, tiga orang luka ringan, dan 140 ditangkap. Pemerintah kerahkan 80.000 polisi, gendarm, drone, dan kendaraan lapis baja—skala terbesar sejak 2023. Ekonomi terganggu: penerbangan tertunda, rumah sakit kekurangan staf, dan lalu lintas lumpuh. Inflasi dan biaya hidup naik membuat kelas pekerja merasa tercekik, sementara Macron berada di titik terendah popularitas sejak 2017. Ini bukan akhir; aksi petani direncanakan 26 September, menjanjikan gelombang lebih panjang.
Apa yang Membuat Mereka Melakukan Demo Besar-besaran
Pemicu utama demo ini adalah rencana pemotongan anggaran yang dianggap merampok rakyat biasa demi selamatkan elit. Demonstran menuntut Lecornu batalkan austerity, termasuk 5,5 miliar euro potong dari rumah sakit, reformasi pensiun yang naikkan usia pensiun, dan kenaikan PPN energi ke 20%. “Keadilan sosial dan pajak adil!” jadi slogan utama, dengan spanduk “Macron Mundur” dan “Hentikan Pencurian” bertebaran. Mereka soroti stagnasi upah di tengah inflasi, tuntut investasi lebih di layanan publik, pajak progresif untuk orang kaya, pembekuan sewa, dan reformasi tunjangan pengangguran serta biaya medis.
Serikat buruh seperti CGT sebut ini “peringatan tegas” ke Lecornu, menekankan kebutuhan anggaran yang prioritaskan keadilan fiskal, sosial, dan lingkungan. Di Marseille, bendera Palestina muncul sebagai solidaritas Gaza, tuntut tutup pabrik senjata Eurolinks yang diduga suplai ke Israel. Pemuda dan siswa blokir sekolah untuk soroti ketidakpastian masa depan, sementara pekerja transportasi dan guru lindungi hak buruh. Koordinator La France Insoumise (LFI) Manuel Bompard hadir di Paris, dorong aksi sebagai tekanan ke parlemen terpecah. Secara keseluruhan, ini seruan sistemik: hentikan beban utang negara jatuh ke pekerja, dan bagikan tanggung jawab ke korporasi serta kaya raya. Marylise Leon dari CFDT bilang, tuntutan ini “inti dari konsultasi” yang Lecornu janjikan, tapi demonstran tak puas dengan janji kosong.
Apakah Demo Ini Bisa Chaos Seperti Nepal Ataupun Indonesia
Potensi kekacauan besar seperti Nepal 2006—yang jatuhkan monarki melalui protes massal—atau Indonesia 1998—yang akhiri rezim Soeharto dengan kerusuhan berdarah—ada, tapi konteks Prancis beda. Di Nepal, ratusan ribu demonstran tuntut demokrasi penuh, picu reformasi konstitusi; di Indonesia, inflasi dan korupsi nyalakan api yang bakar gedung parlemen. Di Prancis, demo ini mirip Yellow Vests 2018: dimulai damai tapi eskalasi jadi bentrokan mingguan, dengan 11.000 ditangkap dan ekonomi rugi miliaran euro. Saat ini, bentrokan sporadis di Nantes dan Lyon ingatkan risiko, tapi belum capai skala kekerasan massal.
Faktor pemicu chaos: parlemen terpecah bisa perpanjang krisis, dorong National Rally atau LFI tuntut pemilu baru atau Macron mundur. Jika Lecornu gagal lulus anggaran 2026, mogok berkepanjangan bisa lumpuhkan negara seperti Yunani 2015. Namun, Prancis punya katup aman: tradisi protes kuat tapi institusi stabil, polisi siaga dengan 80.000 personel, dan Macron tolak pemilu dini. Analis bilang, ini lebih mungkin jadi tekanan berkelanjutan daripada revolusi—mirip pensiun 2023 yang gagal ubah undang-undang tapi paksa Macron mundur mundur. Risiko chaos naik jika petani gabung 26 September, tapi untuk sekarang, ini solidaritas terorganisir, bukan anarki liar.
Kesimpulan: Apa yang Disuarakan Dalam Demo Besar-besaran di Prancis
Demo besar-besaran di Prancis 18 September 2025 adalah jeritan kolektif atas austerity yang timpang, dengan tuntutan keadilan sosial, pajak adil, dan lindungi layanan publik yang bergema dari Paris hingga Marseille. Di balik asap dan sirene, ini tekanan nyata ke Macron dan Lecornu untuk dengar rakyat, bukan investor. Meski potensi chaos seperti Nepal atau Indonesia mengintai jika krisis perpanjang, kekuatan serikat buruh bikin aksi ini lebih terarah daripada destruktif. Pelajaran global: abaikan kemarahan jalanan, dan getaran bisa runtuhkan fondasi. Bagi Prancis, ini momen pilih—reformasi sekarang, atau badai lebih hebat. Satu hal pasti: suara demonstran takkan redup begitu saja.