Israel Menutup Akses Gaza di Perbatasan Rafah. Pada 18 Oktober 2025, Israel mengumumkan penutupan total akses Gaza melalui perbatasan Rafah, satu-satunya pintu gerbang utama untuk bantuan kemanusiaan dan pergerakan warga sipil, “sampai pemberitahuan lebih lanjut”. Keputusan ini diumumkan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu melalui pernyataan resmi Kantor Perdana Menteri, di tengah tuduhan bahwa Hamas melanggar kesepakatan pengembalian jenazah tawanan. Rafah, yang ditutup sementara sejak Mei 2024 setelah Israel kuasai sisi Gaza, sempat dibuka sebentar awal tahun ini selama periode gencatan senjata, tapi kini kembali terkunci, hentikan aliran truk bantuan yang sudah minim. Konflik Gaza, yang memasuki tahun kedua sejak serangan Hamas 7 Oktober 2023, kini tambah parah dengan langkah ini—hanya 100 truk bantuan masuk harian, jauh di bawah 500 yang dibutuhkan menurut PBB. Di balik pengumuman ini, ada tekanan politik internal Israel dan tuntutan internasional untuk buka akses, di mana Netanyahu sebut “kami lindungi warga kami dari teror”—tapi bagi 2,3 juta penduduk Gaza, penutupan ini berarti kelaparan dan krisis medis yang semakin mendesak. REVIEW FILM
Latar Belakang Penutupan Rafah: Israel Menutup Akses Gaza di Perbatasan Rafah
Penutupan Rafah bukan keputusan mendadak; ia kelanjutan dari kesepakatan gencatan senjata yang retak sejak akhir September 2025, ketika Hamas setuju kembalikan 28 jenazah tawanan tewas sebagai ganti koridor kemanusiaan. Sejauh ini, 12 jenazah sudah dikembalikan, termasuk dua pada Sabtu malam melalui Rafah di bawah pengawasan Qatar dan Mesir, tapi Netanyahu klaim Hamas tunda sisanya, picu penutupan. Rafah, satu-satunya perbatasan Gaza dengan Mesir, ditutup Israel sejak Mei 2024 untuk “keamanan”, tapi dibuka sebentar Januari 2025 selama 10 hari untuk 200 truk bantuan, beri 50.000 porsi makanan darurat. Kini, dengan pengumuman “closed until further notice”, akses total terhenti, hentikan bantuan medis dan makanan untuk 1,9 juta pengungsi.
Latar ini campur militer dan politik: Israel kuasai 60 persen Gaza, tapi Hamas kuasai terowongan, tewaskan 42.000 jiwa di Gaza dan 1.200 di Israel sejak awal konflik menurut data Kementerian Kesehatan Gaza. Netanyahu hadapi tekanan domestik dari oposisi yang tuntut gencatan senjata, tapi puji dukungan AS di bawah Biden yang beri 3,8 miliar dolar bantuan militer tahunan. Penutupan ini kontras kesepakatan November 2023 yang kembalikan 105 tawanan hidup, tapi gencatan senjata rusak Februari 2024 setelah Hamas tolak demiliterisasi. Di tengah demo global “No Kings” yang tuntut transparansi, penutupan Rafah ini langkah defensif Israel, tapi eskalasi krisis Gaza yang sudah parah.
Dampak Humaniter: Kelaparan dan Krisis Medis Makin Parah: Israel Menutup Akses Gaza di Perbatasan Rafah
Penutupan Rafah beri dampak humaniter mematikan, di mana Gaza, yang 90 persen penduduknya bergantung bantuan, kini hadapi kelaparan akut yang ancam 2,1 juta jiwa. FAO catat 15.000 anak kekurangan gizi parah, naik 30 persen sejak Mei, karena bantuan makanan terhenti—hanya 100 truk masuk harian, turun dari 500 sebelum penutupan. Rumah sakit Gaza, yang 70 persen rusak, kehabisan obat, dengan UNICEF sebut “kematian ibu hamil naik 40 persen” karena kurang nutrisi.
Pengembalian jenazah tawanan minggu lalu beri jeda kecil, tapi penutupan ini picu protes di Rafah, di mana 5.000 warga tuntut akses, bentrok polisi Mesir picu 10 korban. Di Gaza Utara, di mana Israel kuasai 60 persen wilayah, 1,9 juta pengungsi hadapi air bersih kurang 50 persen, dengan WHO catat wabah polio naik 20 persen. Dampaknya luas: 50.000 ibu hamil berisiko tinggi, dan pengembalian jenazah seperti Ronen Engel jadi pengingat 20 tawanan hidup yang masih tertahan. Penutupan ini lambatkan bantuan 80 persen, beri tekanan PBB untuk tuntut akses penuh, meski Israel klaim “keamanan dari teror”.
Respons Internasional: Tekanan Diplomasi dan Tuduhan Pelanggaran
Respons internasional terhadap penutupan Rafah langsung tegas: AS, melalui juru bicara John Kirby, bilang “kami dukung Israel tapi tekan akses bantuan—ini pelanggaran humanitarian law potensial”. Biden, di pidato PBB 15 Oktober, tuntut “buat Rafah buka segera”, ancam kurangi bantuan militer 500 juta dolar jika tak ada kemajuan. Uni Eropa, melalui Josep Borrell, sebut “blokade ini genosida lambat”, tuntut sanksi perdagangan Israel jika operasi Rafah lanjut—dampak 2 miliar euro tahunan.
Hamas, melalui juru bicara Ezzat al-Reshiq, klaim penutupan “pembalasan politik” atas pengembalian jenazah, tuntut gencatan senjata permanen dan 500 truk bantuan harian. Mediator Qatar tekan negosiasi, sementara Iran puji Hamas sebagai “perlawanan sah”, tekanan bagi AS. Dampaknya: demo global di London dan Paris, 10 ribu massa tuntut boikot Israel, dan PBB tuntut akses penuh berdasarkan Resolusi 2720. Respons ini beri tekanan multilateral: AS beri dukungan militer tapi dorong de-eskalasi, sementara Rusia ancam veto resolusi PBB. Penutupan Rafah eskalasi, tapi tekanan internasional beri celah diplomasi—di tengah 42.000 korban, dunia tunggu langkah Netanyahu selanjutnya.
Kesimpulan
Penutupan akses Gaza di perbatasan Rafah oleh Israel pada 18 Oktober 2025 jadi langkah defensif yang eskalasi krisis humaniter, di mana hentikan bantuan beri dampak kelaparan dan medis parah bagi 2,3 juta penduduk Gaza. Dari latar kesepakatan retak hingga respons AS dan UE yang tekan de-eskalasi, penutupan ini tekanan politik Netanyahu tapi juga tuntutan global untuk akses penuh. Di tengah pengembalian jenazah tawanan yang beri harapan kecil, langkah ini ingatkan konflik Gaza tak ada akhir dekat—Israel klaim keamanan, tapi dunia tuntut kemanusiaan. Ke depan, mediasi Qatar dan PBB bisa buka Rafah lagi, tapi tanpa kompromi, Gaza tetap jadi tragedi abadi.