China Menghunus Senjata di Tanah Jarang. Pagi 22 Oktober 2025, ketegangan perang dagang AS-China memuncak saat Beijing resmi terapkan pembatasan ekspor ketat untuk tanah jarang—mineral kritis yang dikuasai 90 persen produksi global oleh China. Aturan baru ini, yang diumumkan Kementerian Perdagangan China kemarin, batasi lisensi ekspor untuk rare earth elements seperti neodymium dan dysprosium, senjata strategis yang esensial untuk baterai EV, magnet turbin angin, dan rudal militer. Langkah ini respons langsung terhadap ancaman Presiden AS Donald Trump soal tarif 100 persen pada impor China mulai 1 November—eskalasi yang bisa picu kekurangan pasokan global. Harga neodymium sudah naik 15 persen di bursa London sejak pengumuman, tekan industri otomotif dan pertahanan. Bagi China, ini bukan gertakan; dominasinya di tanah jarang sejak 1990-an jadi kartu as untuk lawan tekanan perdagangan. Di tengah pemulihan ekonomi pasca-pandemi, langkah ini ingatkan dunia: mineral langka bukan cuma komoditas, tapi senjata geopolitik yang bisa hentikan roda industri. REVIEW FILM
Latar Belakang Pembatasan: Respons terhadap Tarif Trump: China Menghunus Senjata di Tanah Jarang
Pembatasan ekspor tanah jarang China lahir dari siklus balas-membalas yang sudah panjang. Trump, yang kembali ke Gedung Putih Januari lalu, ulangi janji kampanye: lindungi manufaktur AS dengan tarif tinggi. Ancaman 100 persen pada barang China—termasuk elektronik dan EV—datang setelah laporan perdagangan September tunjukkan defisit AS capai 400 miliar dollar. China, yang ekspor tanah jarang senilai 10 miliar dollar tahun lalu, langsung balas dengan aturan baru: lisensi ekspor butuh verifikasi ganda, batasi volume 20 persen untuk pembeli AS, dan prioritas domestik untuk industri China seperti Huawei dan BYD. Ini lanjutan embargo 2010 ke Jepang, yang picu krisis magnet global. Di 2025, China kuasai 95 persen pemrosesan tanah jarang, meski tambang utama di Australia dan AS. Alasan resmi Beijing: “lindungi sumber daya nasional dari eksploitasi asing”. Tapi analis bilang ini pesan ke Trump: jangan ganggu dominasi China di EV, di mana baterai lithium butuh 10 kg tanah jarang per mobil. Langkah ini juga dukung target Xi Jinping: swasembada mineral 2030, kurangi ketergantungan ekspor.
Dampak Global: Gangguan Rantai Pasok dan Industri Kritis: China Menghunus Senjata di Tanah Jarang
Pembatasan ini langsung hantam rantai pasok dunia, terutama industri hijau dan pertahanan. Di AS, pabrik magnet General Electric kurangi produksi turbin angin 15 persen minggu ini, karena stok neodymium menipis—mineral itu esensial untuk magnet permanen yang 80 persen impor dari China. Otomotif terdampak parah: Tesla dan Ford sudah naikkan harga EV 5 persen, dengan baterai NMC (nickel-manganese-cobalt) butuh dysprosium untuk efisiensi. Di Eropa, UE yang target net-zero 2050, impor 98 persen tanah jarang dari China, kini hadapi krisis: pabrik Siemens Gamesa hentikan lini produksi angin lepas pantai. Dampak militer lebih sensitif: rudal AS seperti Tomahawk pakai samarium-cobalt magnet dari tanah jarang, dan stok Pentagon cukup untuk 6 bulan saja—laporan Pentagon 2024 sebut ketergantungan ini “ancaman eksistensial”. Di Asia, Korea Selatan dan Jepang—pembeli 40 persen ekspor China—sudah stokpile 3 bulan, tapi harga naik 20 persen tekan Samsung dan Toyota. Global, produksi EV bisa turun 10 persen 2026 jika embargo lanjut, tambah emisi karbon 50 juta ton. Bagi China, ini untung jangka pendek: ekspor ke negara non-AS naik 12 persen, tapi risiko balasan sanksi UE.
Respons Internasional: Diversifikasi dan Diplomasi
Dunia buru-buru respon: AS umumkan 500 juta dollar untuk tambang tanah jarang domestik di California, target produksi 20 persen kebutuhan nasional 2027—tapi butuh 5 tahun untuk operasi penuh. Jepang, yang trauma embargo 2010, alokasikan 2 miliar yen untuk riset daur ulang magnet dari limbah EV. UE dorong “Critical Raw Materials Act” baru, target 10 persen produksi Eropa 2030 via tambang Greenland. Diplomasi panas: Menteri Perdagangan China Wang Wentao panggil duta besar AS kemarin, bilang “tarif Trump picu langkah defensif kami”. Trump balas di X: “China main kotor, tapi AS punyakartu lebih besar—deal atau sakit!” ASEAN, yang 30 persen ekspornya ke China, khawatir: Indonesia dorong tambang lokal di Sulawesi, tapi butuh tech China. Respons pasar: saham Tesla turun 4 persen, sementara Lynas Australia (produsen non-China terbesar) naik 15 persen. Analis bilang, diversifikasi butuh waktu—China tetap kuasai 85 persen pemrosesan hingga 2030. Diplomasi G20 November bisa jadi penyelamat, tapi eskalasi tarif Trump bikin damai sulit.
Kesimpulan
China menghunus senjata tanah jarang adalah eskalasi perang dagang yang tekan industri global, dari baterai EV hingga rudal pertahanan, lahir dari ancaman tarif Trump. Dampaknya langsung: harga lonjak, produksi terganggu, dan negara Barat buru diversifikasi. Respons cepat AS dan UE bagus, tapi butuh kerjasama untuk hindari krisis pasokan. Bagi China, ini kemenangan taktik; bagi dunia, pengingat ketergantungan berbahaya. G20 November jadi kunci—jika deal tercapai, rantai pasok pulih; jika tak, 2026 bisa jadi tahun kekurangan mineral. Dunia pangan dan tech pantau: tanah jarang bukan cuma elemen kimia, tapi senjata ekonomi yang bisa ubah keseimbangan kekuatan.