Trump Membuat Pertemuan Dengan Xi Jinping di Korsel. Pada 18 Oktober 2025, Presiden AS Donald Trump mengonfirmasi rencana pertemuan bilateral dengan Presiden China Xi Jinping di Korea Selatan akhir bulan ini, di tengah ketegangan perdagangan yang kembali memanas. Pengumuman ini disampaikan Trump melalui wawancara dengan South China Morning Post, di mana ia sebut pertemuan itu akan jadi “kesempatan bagus untuk bicara langsung” soal tarif impor dan isu global. Acara ini dijadwalkan bersamaan dengan KTT APEC di Gyeongju pada 31 Oktober hingga 1 November, dengan Trump tiba di Seoul pada 29-30 Oktober untuk pertemuan awal. Di usia kepemimpinannya yang memasuki tahun kedua, Trump gunakan momen ini untuk redam kritik domestik soal kebijakan China, sambil janji “deal besar” yang bisa stabilkan ekonomi AS. Dengan tarif 100 persen pada impor China yang ia sebut “tak berkelanjutan”, pertemuan ini tak hanya soal dagang—ia simbol diplomasi di era ketegangan geopolitik. Bagi dunia, ini harapan langkah maju, tapi juga pengingat betapa rumitnya hubungan dua raksasa ekonomi. BERITA VOLI
Latar Belakang Pertemuan: Dari Tarif hingga Diplomasi APEC: Trump Membuat Pertemuan Dengan Xi Jinping di Korsel
Rencana pertemuan Trump-Xi ini lahir dari konteks perang dagang yang kian panas sejak Trump naik tahta lagi 2025. Tarif impor China yang ia naikkan jadi 100 persen pada barang seperti elektronik dan baja, balas dendam atas pembatasan ekspor rare earth Beijing, picu inflasi AS 0,5 persen dan rugikan ekspor kedelai 20 miliar dolar tahun ini. Trump, yang kampanye dengan slogan “America First”, sebut tarif itu “paksaan dari China”, tapi akui di wawancara kemarin: “100 persen tak sustainable—kita butuh deal yang adil.” Xi, yang hadapi tekanan domestik soal pertumbuhan ekonomi 4,5 persen, lihat pertemuan ini peluang stabilkan rantai pasok global.
KTT APEC di Gyeongju, yang host Korea Selatan, jadi wadah ideal: agenda fokus perdagangan bebas dan keamanan rantai pasok, dengan 21 negara anggota wakili 60 persen GDP dunia. Trump tiba 29 Oktober untuk summit dengan Presiden Lee Jae-myung, lalu lanjut ke Gyeongju untuk bilateral dengan Xi pada 31 Oktober. Ini pertemuan kedua mereka sejak Trump balik ke Gedung Putih—pertama di Bali 2024 soal Taiwan. Latar ini tak lepas politik: Trump gunakan momen ini kampanye Pilpres 2026, soroti “kesepakatan Trump” yang bisa bawa 1 juta lapangan kerja AS. Bagi Xi, ini strategi redam kritik internal soal ketergantungan ekspor ke AS, yang capai 500 miliar dolar tahun lalu. Pertemuan ini bukan cuma dagang; ia soal keseimbangan kekuatan Asia-Pasifik.
Dampak Ekonomi: Tarif yang Menggigit dan Harapan Deal Baru: Trump Membuat Pertemuan Dengan Xi Jinping di Korsel
Ketegangan dagang AS-China jadi latar utama pertemuan, di mana tarif Trump rugikan kedua pihak: AS hadapi kenaikan harga konsumen 5 persen pada gadget, sementara China kehilangan 100 miliar dolar ekspor. IMF perkirakan eskalasi ini potong GDP global 0,8 persen pada 2026, dengan Korea Selatan—host APEC—hadapi dampak langsung karena ketergantungan rantai pasok Samsung ke China. Trump, yang sebut 100 persen tarif “tak sustainable”, beri sinyal negosiasi: “Kita bisa turun ke 60 persen jika China buka pasar pertanian.” Xi, yang dorong “win-win cooperation”, harap deal ini stabilkan yuan yang turun 3 persen sejak Agustus.
Dampaknya luas: di AS, petani Iowa protes kebijakan Trump karena ekspor kedelai ke China turun 30 persen, sementara pabrik di Guangdong tutup 50 ribu pekerja. Pertemuan di Gyeongju bisa bawa kesepakatan fase dua: China janji beli 50 miliar dolar barang AS, AS turunkan tarif pada EV China jadi 25 persen. Korea Selatan, sebagai mediator, untung besar—ekspornya ke kedua negara capai 200 miliar dolar. Tapi, risiko tetap: jika gagal, tarif bisa naik lagi, picu resesi AS 1 persen GDP. Dampak ini soroti betapa saling bergantungnya: AS butuh China untuk 80 persen mineral langka, China andalkan AS untuk teknologi. Deal baru bisa jadi jalan keluar, tapi butuh kompromi dari kedua pemimpin.
Respons Internasional: Dukungan dan Kekhawatiran dari Sekutu
Respons dunia terhadap pertemuan Trump-Xi campur aduk, dengan sekutu AS seperti Jepang dan Australia dukung diplomasi tapi khawatir eskalasi. PM Jepang Shigeru Ishiba sebut di sidang APEC: “Kami harap deal stabilkan rantai pasok—Jepang rugi 15 miliar dolar dari tarif ini.” Uni Eropa, yang hadapi tarif balasan China 10 persen, dorong multilateralisme: Komisi Eropa bilang “APEC jadi platform ideal untuk atasi perang dagang”. Di Asia Tenggara, ASEAN khawatir: Vietnam, yang untung dari relokasi pabrik dari China, sebut “deal AS-China bisa ubah alur investasi 50 miliar dolar”.
Kekhawatiran datang dari Taiwan: Presiden Lai Ching-te sebut pertemuan ini “harus jamin status quo Selat Taiwan”. Rusia, melalui Putin, puji Trump “realistis”, tapi Beijing tolak campur tangan Moskow. Respons ini soroti peran Korea Selatan: sebagai host, Lee Jae-myung manfaatkan momen untuk dorong FTA trilateral AS-China-Korea, potong tarif 20 persen pada mobil listrik. Secara keseluruhan, dunia harap pertemuan ini bawa de-eskalasi—tapi skeptis, mengingat pertemuan Bali 2024 gagal capai kesepakatan konkret. Respons ini jadi pengingat: perang dagang tak punya pemenang, hanya korban global.
Kesimpulan
Pertemuan Trump-Xi di Korea Selatan akhir Oktober 2025 jadi harapan besar di tengah perang dagang yang menggigit, dari latar tarif tak sustainable hingga dampak ekonomi global dan respons sekutu yang campur. Trump dan Xi punya peluang deal fase dua yang stabilkan rantai pasok dan turunkan inflasi, tapi kegagalan bisa picu resesi lebih dalam. Korea Selatan, sebagai host APEC, punya peran kunci untuk mediasi. Di era ketegangan ini, diplomasi langsung seperti ini langka—semoga jadi jalan keluar, bukan jebakan baru. Dunia tunggu hasil Gyeongju; dari ancaman tarif ke kesepakatan damai, masa depan ekonomi bergantung di sana.