Lembaga Apa Yang Mengawasi Produksi Obat Milik TNI?. Pada 12 Agustus 2025, perhatian publik tertuju pada produksi obat-obatan oleh Lembaga Farmasi (Lafi) Tentara Nasional Indonesia (TNI), yang kini semakin digalakkan untuk mendukung kemandirian farmasi nasional. Langkah ini menjadi sorotan karena melibatkan institusi militer dalam sektor kesehatan, khususnya melalui program Koperasi Desa Merah Putih (KDMP). Namun, siapa yang memastikan obat-obatan ini aman dan berkualitas? Lembaga pengawas memainkan peran krusial dalam proses ini. Apa lembaga tersebut, mengapa pengawasan penting, dan apa risiko jika diabaikan? Berikut ulasan lengkapnya. BERITA LAINNYA
Lembaga Apa Yang Mengawasi Obat Milik TNI?
Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) adalah lembaga yang bertanggung jawab mengawasi produksi obat-obatan milik TNI. BPOM, sebagai otoritas nasional di bidang pengawasan obat dan makanan, memastikan bahwa setiap produk farmasi, termasuk yang diproduksi oleh Lafi TNI, memenuhi standar keamanan, kualitas, dan khasiat. Lafi TNI, yang terdiri dari Lembaga Farmasi Angkatan Darat (Lafiad), Angkatan Laut (Lafial), dan Angkatan Udara (Lafiau), telah menghasilkan 88 jenis obat, seperti Fimol (paracetamol) dan Cefalaf (antibiotik), yang semuanya harus mendapatkan Sertifikat Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB) dan Nomor Izin Edar (NIE) dari BPOM. Pengawasan ini mencakup pemeriksaan fasilitas produksi, bahan baku, hingga distribusi untuk memastikan kepatuhan terhadap regulasi.
Kenapa Produksi Obat Tersebut Harus Diperhatikan?
Produksi obat oleh TNI harus diawasi ketat karena menyangkut kesehatan masyarakat dan prajurit. Obat-obatan yang diproduksi Lafi TNI tidak hanya digunakan untuk kebutuhan internal militer, tetapi juga didistribusikan ke masyarakat melalui gerai apotek KDMP. Pengawasan BPOM memastikan bahwa obat seperti Ponstal (anti-nyeri) atau Cefalaf aman untuk konsumsi publik, bebas dari kontaminasi, dan memiliki dosis yang sesuai. Selain itu, keterlibatan TNI dalam produksi obat merupakan langkah strategis untuk mengurangi ketergantungan pada impor, yang saat ini mencapai 94% untuk bahan baku obat. Pengawasan ketat juga penting untuk menjaga kepercayaan publik terhadap produk TNI, terutama di tengah kekhawatiran tentang potensi penyalahgunaan wewenang militer di sektor sipil.
Apa Jadinya Jika Produksi Tersebut Tidak Diperhatikan?
Jika produksi obat TNI tidak diawasi dengan baik, risikonya sangat besar. Obat yang tidak memenuhi standar CPOB berpotensi menyebabkan efek samping berbahaya, seperti reaksi alergi, keracunan, atau bahkan kegagalan pengobatan. Misalnya, dosis yang salah atau kontaminasi bakteri bisa membahayakan nyawa konsumen. Selain itu, tanpa pengawasan ketat, distribusi obat melalui KDMP bisa memicu peredaran produk ilegal atau palsu, merusak kepercayaan masyarakat terhadap TNI dan pemerintah. Kurangnya pengawasan juga berisiko menimbulkan konflik kepentingan, terutama karena TNI bukan pelaku utama di industri farmasi. Hal ini bisa memicu kritik tentang militerisasi sektor sipil, sebagaimana diungkapkan beberapa pakar yang meminta batasan jelas peran TNI dalam produksi obat.
Kesimpulan: Lembaga Apa Yang Mengawasi Produksi Obat Milik TNI?
Pengawasan produksi obat milik TNI oleh BPOM menjadi kunci untuk memastikan keamanan dan kualitas produk yang menjangkau masyarakat melalui Koperasi Desa Merah Putih. BPOM menjamin bahwa obat-obatan seperti Fimol dan Cefalaf memenuhi standar, mendukung upaya kemandirian farmasi nasional. Pengawasan ini penting untuk mencegah risiko kesehatan dan menjaga kepercayaan publik, sementara tanpa pengawasan ketat, bahaya seperti obat cacat atau penyalahgunaan wewenang bisa muncul. Langkah TNI dalam produksi obat adalah terobosan, tetapi harus diimbangi dengan pengawasan ketat untuk memastikan manfaatnya dirasakan tanpa menimbulkan masalah baru.