Alasan Taliban Matikan Internet di Afghanistan. Afghanistan kembali terpuruk dalam kegelapan digital. Pada 29 September 2025, Taliban memerintahkan pemadaman total internet dan layanan telekomunikasi nasional, memutus akses bagi sekitar 40 juta penduduknya. Konektivitas turun drastis hingga di bawah 1% dari level normal, menurut pemantauan independen. Ini bukan sekadar gangguan teknis, melainkan langkah strategis yang mengisolasi negara dari dunia luar. Taliban mengklaim tindakan ini untuk mencegah “kemaksiatan” atau perilaku tidak bermoral, tapi dampaknya jauh lebih luas: dari penerbangan yang dibatalkan hingga keluarga yang terpisah. Sejak merebut kekuasaan pada 2021, kelompok ini terus memperketat kendali atas informasi, dan pemadaman kali ini menjadi puncaknya. Apa yang mendorong Taliban mengambil langkah ekstrem ini? Mari kita telusuri alasan utamanya secara bertahap. BERITA VOLI
Alasan Moralitas: Melindungi dari ‘Kemaksiatan’: Alasan Taliban Matikan Internet di Afghanistan
Inti dari keputusan Taliban terletak pada interpretasi ketat mereka terhadap syariat Islam. Pemimpin tertinggi Hibatullah Akhundzada memerintahkan pemutusan kabel serat optik sejak awal September, dimulai dari provinsi seperti Balkh, Kandahar, dan Helmand. Mereka menyebut internet sebagai pintu gerbang menuju “kejahatan”, terutama pornografi dan interaksi bebas antar jenis kelamin. Seorang juru bicara Taliban di utara Afghanistan menyatakan, langkah ini untuk “mencegah aktivitas tidak bermoral” yang merusak nilai-nilai masyarakat. Ini bukan hal baru; sejak 2021, Taliban telah melarang TV satelit dan media massa selama era pertama mereka berkuasa (1996-2001), menganggapnya sebagai alat setan.
Pada 2025, kekhawatiran ini semakin mendesak bagi mereka. Akses internet yang meluas—sekitar 9 juta pengguna pada 2022—memungkinkan penyebaran konten yang bertentangan dengan doktrin mereka, seperti kritik sosial atau materi hiburan Barat. Taliban khawatir generasi muda terpapar ide-ide liberal, yang bisa menggerus otoritas mereka. Hasilnya, pemadaman ini dirancang untuk membersihkan ruang digital dari “racun” tersebut. Namun, ironisnya, pejabat Taliban sendiri aktif di media sosial untuk propaganda, menunjukkan bahwa larangan ini bersifat selektif: menguntungkan rezim, tapi merugikan rakyat. Langkah ini sejalan dengan dekrit terbaru, seperti pelarangan buku karya perempuan di universitas dan pengajaran hak asasi manusia, semuanya demi menjaga “kemurnian” moral versi mereka.
Dampak Sosial: Mengisolasi Perempuan dan Masyarakat
Pemadaman internet bukan hanya soal moralitas; ia menjadi senjata untuk memperkuat isolasi sosial, terutama bagi perempuan dan gadis. Di Afghanistan, internet adalah satu-satunya jembatan bagi jutaan perempuan yang dilarang bersekolah di atas usia 12 tahun atau bekerja di banyak sektor. Kelas online menjadi penyelamat terakhir, tapi kini terputus total. Seorang aktivis perempuan di Kabul menggambarkan, “Internet menjaga semangat kami tetap hidup; tanpa itu, kami benar-benar hilang.” Taliban tahu betul ini: dengan memutus akses, mereka memadamkan suara perempuan yang selama ini vokal di platform seperti X atau WhatsApp, menuntut hak dasar.
Lebih luas lagi, blackout ini memukul masyarakat sipil. Jurnalis kehilangan alat kerja, aktivis tidak bisa koordinasi, dan komunitas LGBTQ+ yang sudah terpinggirkan kini terisolasi sepenuhnya—internet adalah garis penyelamat mereka dari penganiayaan. Taliban juga memantau jaringan seluler yang tersisa dengan sinyal 2G lambat, memudahkan pelacakan oposisi. Dampaknya seperti efek domino: rumah sakit kesulitan komunikasi, radio dan TV terganggu, bahkan bantuan pasca-gempa Oktober lalu terhambat. PBB memperingatkan, ini membahayakan nyawa ribuan orang di tengah krisis kemanusiaan yang sudah parah, dengan 1,9 juta pengungsi kembali dari Pakistan dan Iran. Singkatnya, Taliban menggunakan pemadaman untuk membungkam disiden, memperkuat narasi bahwa “ketertiban Islam” lebih penting daripada kemajuan sosial.
Dampak Ekonomi: Meruntuhkan Fondasi yang Rapuh
Tak kalah krusial, alasan di balik pemadaman ini adalah upaya menjaga stabilitas ekonomi di bawah kendali Taliban, meski ironisnya justru merusaknya. Afghanistan bergantung pada jaringan serat optik sepanjang 9.350 km yang dibangun era pra-2021 dengan bantuan AS—sekarang dipotong untuk “alternatif domestik” yang belum jelas bentuknya. Perbankan lumpuh: transaksi digital mati, pedagang tidak bisa transfer, dan impor-ekspor terhenti. Bandara Kabul membatalkan penerbangan, pariwisata ambruk, dan bisnis kecil yang bergantung e-commerce bangkrut seketika.
Ekonomi Afghanistan sudah morat-marit: pengangguran melonjak, bantuan internasional terbatas karena sanksi, dan gempa baru-baru ini menewaskan ribuan. Taliban berjanji “alternatif” untuk kebutuhan esensial, tapi tanpa detail, ini terdengar seperti janji kosong. Para pengusaha memprotes, memperingatkan bahwa blackout bisa memperburuk kelaparan massal. Di sisi lain, Taliban melihat ini sebagai cara mengontrol alur informasi ekonomi, mencegah kebocoran data atau koordinasi protes buruh. Akhirnya, langkah ini justru memperlemah posisi mereka di mata donor global, yang kini ragu menyalurkan bantuan tanpa akses verifikasi. Ekonomi bukan prioritas utama; kontrol total lah yang mereka incar.
Kesimpulan: Alasan Taliban Matikan Internet di Afghanistan
Pemadaman internet oleh Taliban di Afghanistan adalah manifestasi dari agenda ganda: menegakkan moralitas versi mereka sambil mengonsolidasikan kekuasaan. Alasan utama—mencegah kemaksiatan—menyembunyikan motif lebih dalam seperti isolasi perempuan, pembungkaman disiden, dan pengendalian ekonomi. Hasilnya, negara ini terbelenggu lebih dalam, dengan rakyat yang haus informasi dan bantuan. Dunia harus bereaksi tegas: tekanan diplomatik, sanksi targeted, dan dukungan teknologi alternatif seperti satelit bisa menjadi penawar. Taliban mungkin menang sementara dalam kegelapan, tapi suara Afghanistan tak akan padam selamanya. Waktu untuk bertindak adalah sekarang, sebelum isolasi ini menjadi norma permanen.